Minggu, 25 November 2012

Kelas XI Semester 3 dan 4 Kegiatan Belajar 2





PERLAWANAN DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
DALAM MENENTANG DOMINASI ASING PADA ABAD 19
1.      Perlawan Rakyat Maluku Tahun 1817
Tidak sewenang-wenang yang dilakukan VOC di Maluku kembali dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial Belanda setelah berkuasa kembali pada tahun 1816 dengan berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1811-1816. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda di bawah ini menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat Maluku.
a.       Penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di                  perkebunan-perkebunan dan membuat garam.
b.      Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
c.       Banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya di buka di kota-kota besar saja.
d.      Jumlah pendeta dikurangi sehingga kegiatan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
e.       Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van de Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga sebenarnya.



2.      Perang Padri Tahun 1821-1837
Perang Padri merupakan perang yang terjadi di Sumatra Barat. Istilah Padri berasal dari kata Padre yang berarti Utama. Pada mulanya perang Padri merupakan perang saudara antara para ulama berhadapan dengan kaum adat. Setelah Belanda ikut campur yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang kolonial.
a.       Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Itu dapat dikemukakan sebab-sebabnya sebagai berikut :
·   Kaum Adat adalah kelompok masyarakat yang walaupun telah memeluk agama Islam namun masih teguh memegang adat dan kebiasaan-kebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satu pemimpin Kaum Adat yaitu Datuk Sati.
·   Kaum Padri adalah kelompok masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah serta membawa pandangan baru. Terpengaruh oleh gerakan Wahabi mereka berusaha hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan Hadist, berusaha melakukan pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang dari ajaran tersebut. Beberapa tokoh Kaum Padri adalah Haji Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Tokoh lainnya adalah Malin Basa (terkenal dengan nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan, Tuanku Nan Renceh dan Datok Bandaharo.
Dengan perbedaan yang cukup mendasar tersebut terjadilah perebutan pengaruh antara kaum adat dan kaum padri di tengah-tengah masyarakat. Pernah diadakan pertemuan untuk mengakhiri perbedaan tadi di Koto Tengah, namun tidak berhasil dan bahkan memicu pertikaian. Untuk menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821.
b.      Jalannya Perang Padri
I.          Tahun 1821 – 1825
Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum Padri melawan Belanda dan Kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak.
Belanda mengirimkan tentaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil menduduki Batusangkar dekat Pangaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama Fort Van der Capellen.
Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian antara Belanda dengan Kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling menyerang.
II.       Tahun 1825 – 1830
Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian di atas sangat menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi Kaum Padri. Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock  (Nama panglima Belanda) di Bukittinggi.
III.    Tahun 1831 – 1837
Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat memadamkan Perang Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah mendatangkian pasukan pimpinan oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan dekat Tiku. Selain itu Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian berpihak kepada Kaum Padri. Sejak tahun 1831 Kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat Panjang yang isinya sebagai berikut :
1.        Belanda ingin menghentikan perang.
2.        Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau.
3.        Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran.
4.        Masalah kopi, lada dan garam akan ditertibkan.
Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi serangan sasaran utama serangan Belanda adalah Benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian ditangkap. Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Minahasa sampai wafatnya tahun 1864 dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi yang dapat dikalahkan Belanda tahun 1838.

3.      Perang Diponegoro 1825 – 1830
a.       Latar Belakang Perlawanan
Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo, putra Sultan Hamengku Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya di Istana maka Diponegoro lebih senang tinggal dirumah buyutnya di Desa Tegalrejo.
Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai berikut :
1.      Adat kebiasaan keratin tidak dihiraukan para pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan.
2.      Masuknya pengaruh budaya Barat meresahkan para ulama serta golongan bangsawan. Misalnya pesta dansa sampai larut malam minum-minuman keras.
3.      Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda menghentikan system hak sewa tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan uang sewa yang telah diterimanya.
4.      Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak rumah, pajak ternak.
Selain hal tersebut ada kejadian yang secara langsung menyulut kemarahan Diponegoro yaitu pemasangan patok untuk pembuatan jalan kereta api yang melewati makam leluhur Diponegoro di Tegal Rejo atas perintah Patih Danurejo IV tanpa seijin Diponegoro. Peristiwa tersebut menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro melawan Belanda.

b.      Jalan Perang
Diponegoro memusatkan pertahanannya di bukit Selarong, sementara itu keluarganya diungsikan ke daerah Deksa. Perlawanan Diponegoro diikuti oleh para petani, para ulama maupun bangsawan. Pengikut Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dari Surakarta, Kyai Hasan Beasri dari Kedu. Pertempuran meluas sampai di Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun, dan Pacitan. Selain dukungan dari para Bupati juga didukung oleh Panglima perang berusia muda yaitu Sentot Ali Basa Prawiradirjo. Pada tanggal 30 Juli 1826 Pasukan Diponegoro memenangkan pertempuran di dekat Lengkong pada tanggal 28 Agustus 1826 di Delanggu. Oleh rakyat, pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar “Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo”
Menghadapi perang gerilya yang dilakukan pasukan Diponegoro Belanda menggunakan taktik Benteng Stelsel. Benteng Stelsel adalah taktik yang dilakukan dengan cara mendirikan benteng sebagai pusat pertahanan di daerah yang didudukinya untuk mempersempit ruang gerak perlawanan Diponegoro. Selain itu Jenderal De Kock menetapkan Magelang sebagai pusat kekuatan militernya. Siasat ini cukup berhasil, beberapa pengikut Diponegoro tertangkap dan menyerah. Kyai Mojo berunding dengan Belanda tanggal 31 Oktober 1828.
Tindakan Belanda berikutnya adalah membujuk para pengikut Diponegoro untuk menyerah dan berhasil antara lain terhadap Mangkubumi, Sentot Ali Basa Prawirodirjo menyerah dan menandatangani perjanjian Imogiri bulan Oktober 1829.
Mula-mula Belanda mengumumkan pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Hal ini tidak berhasil, maka ditempuh cara berikutnya melalui perundingan. Pertemuan pertama tanggal 16 Februari 1830 di Desa Romo Kamal oleh Kolonel Cleerens. Perundingan berikutnya tanggal 28 Maret 1830 di kediaman Residen Kedu. Perundingan gagal bahkan Diponegoro kemudian ditangkap dan ditahan di Batavia, selanjutnya tanggal 8 Januari 1855 di bawa ke Makasar.
Dengan tertangkapnya Diponegoro berakhirlah perang Diponegoro. Perang ini cukup merepotkan keuangan Belanda karena menelan biaya perang yang cukup besar.
4.      Perang Bali Tahun 1846 – 1849
Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherladica (Perdamaian di Bawah Belanda). Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkung, Badung, dan Buleleng. Salah satu isinya berbunyi : Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.
Masalah utama yang menyebabkan timbulnya Perang Bali antara tahun 1846-1849 adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem beserta Patih I Gustri Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1845 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Bali Bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun menolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu-persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di Desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan karena perang dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
·         Nyawa seorang ksatria berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
·         Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
·         Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasem, Mengwi, Gianyar, dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh istri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.
Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit. Pasukan Belanda di pimpin oleh Mayor Jenderal Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.
Setelah gagal, pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri, dan zeni dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada tanggal 19 April 1849 termasuk istri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali Utara. Selain Puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung, dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.

5.      Perang Aceh Tahun 1873 – 1904
Sampai abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua imperialisme di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan Traktat/Perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga (Buffersate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang diserahkan Inggris kepada Belanda. Keadaan tersebut tidak dapat bertahan lama karena adanya kepentingan yang berniat menduduki Aceh sehingga timbullah perlawanan rakyat Aceh.
a.       Sebab-sebab Perang Aceh
·         Belanda merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai upah membantu Sultan dalam perang saudara melalui Traktat Siak tahun 1858, sementara Aceh berpendapat daerah tersebut merupakan wilayahnya.
·         Sejak Terusan Zues dibuka tahun 1969 perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.
·         Keluarnya Traktat Sumatra tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi usaha Belanda untuk meluaskan daerah kekuasaannya sampai di Aceh dalam rangka Pax Netherlandica.
Reaksi Aceh menanggapi Traktat Sumatra yang mengancam kedaulatannya yaitu Aceh berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim utusan ke Turki. Selain itu juga dijalin hubungan ke perwakilan Negara Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu menuntut Aceh agar mengakui kedaulatan Belanda. Aceh menolak tuntutan tersebut sehingga Belanda melakukan penyerangan.
Sifat perlawanan Aceh ada dua macam yaitu politik dan keagamaan. Perlawananan politik dipimpin oleh para bangsawan yang bergelar Teuku yaitu Teuku Umar dan istrinya Cut NYak Dien, Panglima Polim, Sultan Dawutsyah, Teuku Imam Leung Batta. Perang juga bersifat keagamaan yaitu menolak kedatangan Belanda yang akan menyebarkan agama Kristen di Aceh. Tokoh keagamaan adalah para ulama yang bergelar Teungku contoh : Teungku Cik Di Tiro. Golongan utlama tidak mudah menyerah dan kompromi terhadap Belanda.
b.      Jalan Perang
·         Pada bulan April tahun 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR Kohler menyerang Aceh namun gagal bahkan Jenderal Kohler tewas dalam pertempuran memperebutkan masjid raya.
·         Pada bulan Desember 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten dapat menduduki istana serta memproklamirkan bahwa kerajaan Aceh sudah takluk. Nama Banda Aceh kemudian diganti kota raja. Ternyata Aceh tidak takluk begitu saja. Raja Aceh yaitu Sultan Mahmudsyah wafat karena sakit. Putranya yang bernama Muhammad Dawotsyah menjalankan pemerintahan di Pagar Aye. Rakyat Aceh tetap melanjutkan perlawanan dipimpin oleh Panglima Polim.
·         Fase berikutnya sejak tahun 1884 Belanda mempertahankan kekuasaan hanya di daerah yang didudukinya saja. Disitu dibentuk pemerintahan sipil. System ini disebut Konsentrasi Stelsel.
·         Pada tahun 1893 Teuku Umar melakukan siasat menyerah kepada Belanda dan memperoleh kepercayaan memimpin 250 orang pasukan bersenjata lengkap lalu diberi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Ternyata siasat itu hanya untuk mendapatkan senjata yang cukup guna menghadapi Belanda berikutnya.
·         Belanda cukup sulit menghadapi perlawanan rakyat  Aceh. Guna mengetahui system social serta rahasia keuletan rakyat Aceh maka dikirimlah Dr. Snouck Hurgronye seorang ahli dalam agama islam untuk menyelidiki hal itu. Hasil penyelidikannya dibukukan dengan judul “De Atjehers” menurut Hurgronye ada dua cara untuk menundukkan Aceh yaitu melakukan pendekatan kepada para bangsawan dan menganggkat putra-putra mereka menjadi pamong praja para pemerintah Belanda. Kaum ulama harus dihadapi dengan kekuatan senjata sampai menyerah.
·         Sejak 1896 Belanda bertekad menyelesaikan perang dengan mengirim pasukan marsose (polisi militer) dengan panglima Letnan Kolonel Van Geuts. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Perlawanan masih berlanjut sampai akhirnya bulan Januari 1903 Sultan Dawutsyah menyerah. September 1903 Panglima Polim juga menyerah karena Belanda mengultimatum Sultan untuk menyerah setelah menangkap istri dan anak-anaknya. Belanda masih melanjutkan pembersihan terhadap daerah yang terakhir bergolak yaitu Gayo Alas (Aceh Tenggara) dipimpin oleh Letkol Van Daalen tahun 1904, rakyat yang gugur 2922 orang. Perlawanan Cut Nyak Dien masih berlanjut selama 5 tahun. Ia memimpin pasukan keluar masuk hutan rimba dengan tekad rela mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan bangsanya serta mengusir Belanda. Perlawanan Cut Nyak Dien berakhir tahun 1905. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu Sumedang hinga wafat 6 November 1908, sedangkan Cut Meutia gugur tahun 1910.

6.      Perang Tapanuli 1878 – 1907
Di wilayah Tapanuli terdapat beberapa kerajaan suku Batak salah satunya berpusat di Bakkara. Raja terakhir di Bakkara ialah Sisingamangaraja XII. Sebab-sebab terjadinya perang di Tapanuli yaitu sebagai berikut :
·         Raja Sisingamangaraja tidak senang daerah kekuasaannya dikuasai Belanda yaitu Tapanuli Selatan.
·         Untuk mewujudkan Pax Netherlandica, Belanda berniat menguasai Tapanuli Utara pada saat yang sama Belanda juga melancarkan peperangan di Aceh.
Perang dimulai ketika Belanda menempatkan pasukannnya di Tarutung, untuk melindungi penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh Nommensen yang berkebangsaan Jerman. Sisingamangaraja XII menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Selama 7 tahun terjadi peperangan di Tapanuli Utara yaitu di daearah Bahal Batu, Seborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.
Pada tahun 1894 pasukan Belanda dikerahkan untuk merebut Bakkara sebagai pusat kekuasaan Sisingamangaraja XII. Akibat penyerangan tersebut Sisingamangaraja pindah ke Dairi Pakpak.
Pada tahun 1904 pasukan Belanda pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara dan berhasil mendesak pertahanan Sisingamangaraja XII. Pada tahun 1907 pasukan Marsose dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu ia dan para pengikutnya menyelamatkan diri ke hutan Simsim. Bujukan agar raja mau menyerah ditolaknya. Akhirnya dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 Sisingamangaraja XII gugur juga Lopian puterinya dan dua puteranya yaitu Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Jenasahnya dimakamkan di depan markas militer Belanda di Tarutung lalu dipindahkan ke Balige. Gugurnya Sisingamangaraja XII telah menambah deretan pahlawan perjuangan kemerdekaan. Perang Tapanuli adalah perang terakhir menghadapi Belanda dengan senjata. Setahun kemudian perlawanan bangsa Indonesia ditandai dengan munculnya pergerakan nasional melalui lahirnya Budi Utomo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar