PERLAWANAN
DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
DALAM
MENENTANG DOMINASI ASING PADA ABAD 19
1. Perlawan Rakyat Maluku Tahun 1817
Tidak
sewenang-wenang yang dilakukan VOC di Maluku kembali dilanjutkan oleh
pemerintah Kolonial Belanda setelah berkuasa kembali pada tahun 1816 dengan
berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1811-1816. Berbagai tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda di bawah ini menyebabkan
timbulnya perlawanan rakyat Maluku.
a.
Penduduk
wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan
membuat garam.
b. Penyerahan
wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
c.
Banyak
guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya di buka di
kota-kota besar saja.
d. Jumlah
pendeta dikurangi sehingga kegiatan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
e.
Secara
khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van de Berg
terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan
harga sebenarnya.
2. Perang Padri Tahun 1821-1837
Perang
Padri merupakan perang yang terjadi di Sumatra Barat. Istilah Padri berasal
dari kata Padre yang berarti Utama. Pada mulanya perang Padri merupakan perang
saudara antara para ulama berhadapan dengan kaum adat. Setelah Belanda ikut
campur yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang
kolonial.
a. Pertentangan
antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Itu dapat dikemukakan sebab-sebabnya sebagai
berikut :
· Kaum Adat adalah kelompok masyarakat
yang walaupun telah memeluk agama Islam namun masih teguh memegang adat dan
kebiasaan-kebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satu
pemimpin Kaum Adat yaitu Datuk Sati.
· Kaum Padri adalah kelompok
masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah
serta membawa pandangan baru. Terpengaruh oleh gerakan Wahabi mereka berusaha
hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan Hadist, berusaha melakukan pembersihan
terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang dari ajaran tersebut.
Beberapa tokoh Kaum Padri adalah Haji Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang.
Tokoh lainnya adalah Malin Basa (terkenal dengan nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan,
Tuanku Nan Renceh dan Datok Bandaharo.
Dengan perbedaan yang cukup mendasar
tersebut terjadilah perebutan pengaruh antara kaum adat dan kaum padri di
tengah-tengah masyarakat. Pernah diadakan pertemuan untuk mengakhiri perbedaan
tadi di Koto Tengah, namun tidak berhasil dan bahkan memicu pertikaian. Untuk
menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun
1821.
b. Jalannya
Perang Padri
I.
Tahun
1821 – 1825
Pada bulan April tahun 1821 terjadi
pertempuran antara kaum Padri melawan Belanda dan Kaum Adat di Sulit Air dekat
danau Singkarak.
Belanda mengirimkan tentaranya dari
Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil menduduki Batusangkar dekat
Pangaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama Fort Van der Capellen.
Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi
perjanjian perdamaian antara Belanda dengan Kaum Padri di Padang yang pada
pokoknya tidak akan saling menyerang.
II.
Tahun
1825 – 1830
Pada periode ini Belanda juga sedang
menghadapi perang Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian di atas sangat
menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi Kaum Padri. Belanda membangun benteng
disebut Fort de Kock (Nama panglima
Belanda) di Bukittinggi.
III. Tahun 1831
– 1837
Belanda bertekad mengakhiri perang
Padri setelah dapat memadamkan Perang Diponegoro. Tindakan yang dilakukan
Belanda adalah mendatangkian pasukan pimpinan oleh Letnan Kolonel Elout
kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok menundukkan Kaum Padri yang berpusat
di Ketiangan dekat Tiku. Selain itu Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa
Prawirodirdjo (bekas panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau
Jawa walaupun kemudian berpihak kepada Kaum Padri. Sejak tahun 1831 Kaum Adat
bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1833 Belanda
menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat Panjang yang isinya
sebagai berikut :
1.
Belanda
ingin menghentikan perang.
2.
Tidak
akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau.
3.
Tidak
akan menarik cukai dan iuran-iuran.
4.
Masalah
kopi, lada dan garam akan ditertibkan.
Imam Bonjol tetap waspada dengan
siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi serangan sasaran utama
serangan Belanda adalah Benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada tanggal 16
Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian ditangkap.
Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Minahasa sampai wafatnya tahun 1864
dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi yang dapat
dikalahkan Belanda tahun 1838.
3. Perang Diponegoro 1825 – 1830
a.
Latar
Belakang Perlawanan
Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden
Mas Ontowiryo, putra Sultan Hamengku
Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya di Istana
maka Diponegoro lebih senang tinggal dirumah buyutnya di Desa Tegalrejo.
Secara umum sebab-sebab perlawanan
Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai berikut :
1. Adat
kebiasaan keratin tidak dihiraukan para pembesar Belanda duduk sejajar dengan
Sultan.
2. Masuknya
pengaruh budaya Barat meresahkan para ulama serta golongan bangsawan. Misalnya
pesta dansa sampai larut malam minum-minuman keras.
3. Para
bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda menghentikan system
hak sewa tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan
harus mengembalikan uang sewa yang telah diterimanya.
4. Banyaknya
macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak rumah, pajak
ternak.
Selain hal tersebut ada kejadian
yang secara langsung menyulut kemarahan Diponegoro yaitu pemasangan patok untuk
pembuatan jalan kereta api yang melewati makam leluhur Diponegoro di Tegal Rejo
atas perintah Patih Danurejo IV tanpa seijin Diponegoro. Peristiwa tersebut
menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro melawan Belanda.
b. Jalan
Perang
Diponegoro memusatkan pertahanannya
di bukit Selarong, sementara itu keluarganya diungsikan ke daerah Deksa.
Perlawanan Diponegoro diikuti oleh para petani, para ulama maupun bangsawan.
Pengikut Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dari Surakarta, Kyai Hasan
Beasri dari Kedu. Pertempuran meluas sampai di Banyumas, Pekalongan, Semarang,
Rembang, Madiun, dan Pacitan. Selain dukungan dari para Bupati juga didukung
oleh Panglima perang berusia muda yaitu Sentot Ali Basa Prawiradirjo. Pada
tanggal 30 Juli 1826 Pasukan Diponegoro memenangkan pertempuran di dekat
Lengkong pada tanggal 28 Agustus 1826 di Delanggu. Oleh rakyat, pangeran
Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar “Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin
Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo”
Menghadapi perang gerilya yang
dilakukan pasukan Diponegoro Belanda menggunakan taktik Benteng Stelsel.
Benteng Stelsel adalah taktik yang dilakukan dengan cara mendirikan benteng
sebagai pusat pertahanan di daerah yang didudukinya untuk mempersempit ruang
gerak perlawanan Diponegoro. Selain itu Jenderal De Kock menetapkan Magelang
sebagai pusat kekuatan militernya. Siasat ini cukup berhasil, beberapa pengikut
Diponegoro tertangkap dan menyerah. Kyai Mojo berunding dengan Belanda tanggal
31 Oktober 1828.
Tindakan Belanda berikutnya adalah
membujuk para pengikut Diponegoro untuk menyerah dan berhasil antara lain
terhadap Mangkubumi, Sentot Ali Basa Prawirodirjo menyerah dan menandatangani
perjanjian Imogiri bulan Oktober 1829.
Mula-mula Belanda mengumumkan
pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat
menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Hal ini tidak berhasil,
maka ditempuh cara berikutnya melalui perundingan. Pertemuan pertama tanggal 16
Februari 1830 di Desa Romo Kamal oleh Kolonel Cleerens. Perundingan berikutnya
tanggal 28 Maret 1830 di kediaman Residen Kedu. Perundingan gagal bahkan
Diponegoro kemudian ditangkap dan ditahan di Batavia, selanjutnya tanggal 8 Januari
1855 di bawa ke Makasar.
Dengan tertangkapnya Diponegoro
berakhirlah perang Diponegoro. Perang ini cukup merepotkan keuangan Belanda
karena menelan biaya perang yang cukup besar.
4. Perang Bali Tahun 1846 – 1849
Pada abad
19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherladica (Perdamaian di Bawah
Belanda). Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya
atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui
perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkung, Badung, dan Buleleng. Salah
satu isinya berbunyi : Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan di Bali
berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan
Belanda untuk menguasai Bali.
Masalah
utama yang menyebabkan timbulnya Perang Bali antara tahun 1846-1849 adalah
adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja yang terdampar di perairan
wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu
Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem beserta Patih I Gustri Ketut Jelantik
telah ada perjanjian pada tahun 1845 isinya pihak kerajaan akan membantu
Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak
dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun
1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali
Barat) dan Sangsit (Bali Bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng
melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun menolak.
Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pantai
Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai.
Satu-persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng
berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut
Jelantik.
Perang
Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah
benteng di Desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan karena perang
dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali,
puputan dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
· Nyawa
seorang ksatria berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan
kehormatan.
· Dalam
mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara maupun keluarga tidak dikenal
istilah menyerah kepada musuh.
· Menurut
ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Benteng
Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan
parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka
raja-raja Karangasem, Mengwi, Gianyar, dan Klungkung juga mengirim bala bantuan
sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit
ditopang oleh istri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan
memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas
digaris depan.
Pada
tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan
2265 serdadu mendarat di Sangsit. Pasukan Belanda di pimpin oleh Mayor Jenderal
Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan
Belanda dapat digagalkan.
Setelah
gagal, pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak
berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri,
dan zeni dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng
Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang
mundur, mereka semuanya gugur pada tanggal 19 April 1849 termasuk istri Patih
Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka
Belanda dapat menguasai Bali Utara. Selain Puputan Buleleng, perlawanan rakyat
Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung, dan daerah lain walaupun
akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.
5. Perang Aceh Tahun 1873 – 1904
Sampai
abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua
imperialisme di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan
Traktat/Perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga
(Buffersate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang diserahkan
Inggris kepada Belanda. Keadaan tersebut tidak dapat bertahan lama karena
adanya kepentingan yang berniat menduduki Aceh sehingga timbullah perlawanan
rakyat Aceh.
a. Sebab-sebab
Perang Aceh
·
Belanda
merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai
upah membantu Sultan dalam perang saudara melalui Traktat Siak tahun 1858,
sementara Aceh berpendapat daerah tersebut merupakan wilayahnya.
·
Sejak
Terusan Zues dibuka tahun 1969 perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai
jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.
·
Keluarnya
Traktat Sumatra tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi
usaha Belanda untuk meluaskan daerah kekuasaannya sampai di Aceh dalam rangka
Pax Netherlandica.
Reaksi
Aceh menanggapi Traktat Sumatra yang mengancam kedaulatannya yaitu Aceh
berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim utusan ke Turki. Selain itu juga
dijalin hubungan ke perwakilan Negara Amerika Serikat dan Italia di Singapura.
Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu menuntut Aceh agar mengakui
kedaulatan Belanda. Aceh menolak tuntutan tersebut sehingga Belanda melakukan
penyerangan.
Sifat
perlawanan Aceh ada dua macam yaitu politik dan keagamaan. Perlawananan politik
dipimpin oleh para bangsawan yang bergelar Teuku yaitu Teuku Umar dan istrinya
Cut NYak Dien, Panglima Polim, Sultan Dawutsyah, Teuku Imam Leung Batta. Perang
juga bersifat keagamaan yaitu menolak kedatangan Belanda yang akan menyebarkan
agama Kristen di Aceh. Tokoh keagamaan adalah para ulama yang bergelar Teungku
contoh : Teungku Cik Di Tiro. Golongan utlama tidak mudah menyerah dan kompromi
terhadap Belanda.
b. Jalan
Perang
·
Pada
bulan April tahun 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR Kohler
menyerang Aceh namun gagal bahkan Jenderal Kohler tewas dalam pertempuran
memperebutkan masjid raya.
·
Pada
bulan Desember 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten
dapat menduduki istana serta memproklamirkan bahwa kerajaan Aceh sudah takluk.
Nama Banda Aceh kemudian diganti kota raja. Ternyata Aceh tidak takluk begitu
saja. Raja Aceh yaitu Sultan Mahmudsyah wafat karena sakit. Putranya yang bernama
Muhammad Dawotsyah menjalankan pemerintahan di Pagar Aye. Rakyat Aceh tetap
melanjutkan perlawanan dipimpin oleh Panglima Polim.
·
Fase
berikutnya sejak tahun 1884 Belanda mempertahankan kekuasaan hanya di daerah
yang didudukinya saja. Disitu dibentuk pemerintahan sipil. System ini disebut
Konsentrasi Stelsel.
·
Pada
tahun 1893 Teuku Umar melakukan siasat menyerah kepada Belanda dan memperoleh
kepercayaan memimpin 250 orang pasukan bersenjata lengkap lalu diberi gelar
Teuku Umar Johan Pahlawan. Ternyata siasat itu hanya untuk mendapatkan senjata
yang cukup guna menghadapi Belanda berikutnya.
·
Belanda
cukup sulit menghadapi perlawanan rakyat
Aceh. Guna mengetahui system social serta rahasia keuletan rakyat Aceh
maka dikirimlah Dr. Snouck Hurgronye seorang ahli dalam agama islam untuk
menyelidiki hal itu. Hasil penyelidikannya dibukukan dengan judul “De Atjehers”
menurut Hurgronye ada dua cara untuk menundukkan Aceh yaitu melakukan
pendekatan kepada para bangsawan dan menganggkat putra-putra mereka menjadi
pamong praja para pemerintah Belanda. Kaum ulama harus dihadapi dengan kekuatan
senjata sampai menyerah.
·
Sejak
1896 Belanda bertekad menyelesaikan perang dengan mengirim pasukan marsose
(polisi militer) dengan panglima Letnan Kolonel Van Geuts. Dalam pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Perlawanan masih
berlanjut sampai akhirnya bulan Januari 1903 Sultan Dawutsyah menyerah.
September 1903 Panglima Polim juga menyerah karena Belanda mengultimatum Sultan
untuk menyerah setelah menangkap istri dan anak-anaknya. Belanda masih
melanjutkan pembersihan terhadap daerah yang terakhir bergolak yaitu Gayo Alas
(Aceh Tenggara) dipimpin oleh Letkol Van Daalen tahun 1904, rakyat yang gugur
2922 orang. Perlawanan Cut Nyak Dien masih berlanjut selama 5 tahun. Ia
memimpin pasukan keluar masuk hutan rimba dengan tekad rela mengorbankan jiwa
raga demi kemerdekaan bangsanya serta mengusir Belanda. Perlawanan Cut Nyak
Dien berakhir tahun 1905. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu Sumedang
hinga wafat 6 November 1908, sedangkan Cut Meutia gugur tahun 1910.
6. Perang Tapanuli 1878 – 1907
Di wilayah
Tapanuli terdapat beberapa kerajaan suku Batak salah satunya berpusat di
Bakkara. Raja terakhir di Bakkara ialah Sisingamangaraja XII. Sebab-sebab
terjadinya perang di Tapanuli yaitu sebagai berikut :
·
Raja
Sisingamangaraja tidak senang daerah kekuasaannya dikuasai Belanda yaitu
Tapanuli Selatan.
·
Untuk
mewujudkan Pax Netherlandica, Belanda berniat menguasai Tapanuli Utara pada
saat yang sama Belanda juga melancarkan peperangan di Aceh.
Perang
dimulai ketika Belanda menempatkan pasukannnya di Tarutung, untuk melindungi
penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh Nommensen yang berkebangsaan Jerman.
Sisingamangaraja XII menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Selama 7 tahun
terjadi peperangan di Tapanuli Utara yaitu di daearah Bahal Batu,
Seborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.
Pada tahun
1894 pasukan Belanda dikerahkan untuk merebut Bakkara sebagai pusat kekuasaan
Sisingamangaraja XII. Akibat penyerangan tersebut Sisingamangaraja pindah ke
Dairi Pakpak.
Pada tahun
1904 pasukan Belanda pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan
gerakannya ke Tapanuli Utara dan berhasil mendesak pertahanan Sisingamangaraja
XII. Pada tahun 1907 pasukan Marsose dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel
berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang
anaknya, sementara itu ia dan para pengikutnya menyelamatkan diri ke hutan Simsim.
Bujukan agar raja mau menyerah ditolaknya. Akhirnya dalam pertempuran tanggal
17 Juni 1907 Sisingamangaraja XII gugur juga Lopian puterinya dan dua puteranya
yaitu Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Jenasahnya dimakamkan di depan markas
militer Belanda di Tarutung lalu dipindahkan ke Balige. Gugurnya
Sisingamangaraja XII telah menambah deretan pahlawan perjuangan kemerdekaan.
Perang Tapanuli adalah perang terakhir menghadapi Belanda dengan senjata.
Setahun kemudian perlawanan bangsa Indonesia ditandai dengan munculnya
pergerakan nasional melalui lahirnya Budi Utomo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar